Rabu, 20 Maret 2013

Sydrom Putri Malu




“Kau bilang mungkin ini yang disebut dengan sydrom putri malu. Memang harus menguncup ketika disentuh? Pertahanan diri katamu?”
“Ahhhh alibi macam itu? Pertahanan diri atau memang takut? Yaps,anggap saja kau mempertahankan diri dari rasa takutmu. Aku mengerti.”
“Tapi ingat kau dalam posisi tawar, kenapa malah memilih diam? Apa hasil yang kau harapkan dengan diammu itu?”
“Kau berharap aku akan bicara lebih dulu? Yang dalam posisi tawar itu kau, kau yang harus memulai. Aku hanya akan menjawab apa yang kau tawarkan. Sesimple itu, aku yakin kau mengerti. Atau memang otakmu terlalu bebal untuk mengerti?”
“Ingat satu lagi, time is running out. Kau harus bersaing cepat dengan waktu. Sudah berapa ratus kali jarum jam itu berputar? Dan apa yang kau lakukan sampai saat ini selain diam?”
“Iya, kau hanya bisa diam, sembunyi dibalik rasa takutmu. Tidak ada yang tidak beresiko di hidup ini. Kau pikir oksigen yang kau hirup untuk hidup benar -benar bersih? Ada polusi disana sini. Dan kau tahu? Kau beresiko mati karena terkena kanker paru-paru. Matipun juga beresiko, beresiko tidak ada lahan pemakaman yang kosong dan yang lebih horor, kau beresiko ditolak liang kubur.”
“Hey sudah pahamkan kau? aku tau otakmu terlalu bebal. Aku terangkan sekali lagi. Pertama kau tidak bisa diam saja karena kau diposisi tawar. Kedua terlalu banyak waktu yang kau habiskan untuk diam. Dan yang paling penting, pergi dari rasa takutmu dan acuhkan resikonya. Aku tidak berjanji akan menunggu untuk waktu yang lama.”

Kriiiiing kriiiiiing kriiiiiing, alarm ku berbunyi. Menarik khayalanku kembali ke alam sadarku, menghentikan percakapanku dengannya. Tapi yang membuat kepalaku pening adalah kalimat penutupnya. Dia benar, hanya dia yang bisa menjamin dia akan terus menunggu. Tapi aku tak seberani itu untuk mengambil resiko.
Dan jika terus memikirkan ini aku beresiko telat kekampus. Dan nanti sampai dikampus, aku pun tak mampu menyapanya. Sydroma putri malu menunduk ketika bertemu..