“Kau bilang mungkin ini yang disebut dengan sydrom putri malu.
Memang harus menguncup ketika disentuh? Pertahanan diri katamu?”
“Ahhhh alibi macam itu? Pertahanan diri atau memang takut?
Yaps,anggap saja kau mempertahankan diri dari rasa takutmu. Aku mengerti.”
“Tapi ingat kau dalam posisi tawar, kenapa malah memilih diam?
Apa hasil yang kau harapkan dengan diammu itu?”
“Kau berharap aku akan bicara lebih dulu? Yang dalam posisi
tawar itu kau, kau yang harus memulai. Aku hanya akan menjawab apa yang kau
tawarkan. Sesimple itu, aku yakin kau mengerti. Atau memang otakmu terlalu
bebal untuk mengerti?”
“Ingat satu lagi, time is running out. Kau harus bersaing cepat
dengan waktu. Sudah berapa ratus kali jarum jam itu berputar? Dan apa yang kau
lakukan sampai saat ini selain diam?”
“Iya, kau hanya bisa diam, sembunyi dibalik rasa takutmu. Tidak
ada yang tidak beresiko di hidup ini. Kau pikir oksigen yang kau hirup untuk
hidup benar -benar bersih? Ada polusi disana sini. Dan kau tahu? Kau beresiko
mati karena terkena kanker paru-paru. Matipun juga beresiko, beresiko tidak ada
lahan pemakaman yang kosong dan yang lebih horor, kau beresiko ditolak liang
kubur.”
“Hey sudah pahamkan kau? aku tau otakmu terlalu bebal. Aku
terangkan sekali lagi. Pertama kau tidak bisa diam saja karena kau diposisi
tawar. Kedua terlalu banyak waktu yang kau habiskan untuk diam. Dan yang paling
penting, pergi dari rasa takutmu dan acuhkan resikonya. Aku tidak berjanji akan
menunggu untuk waktu yang lama.”
Kriiiiing kriiiiiing kriiiiiing, alarm ku berbunyi. Menarik
khayalanku kembali ke alam sadarku, menghentikan percakapanku dengannya. Tapi
yang membuat kepalaku pening adalah kalimat penutupnya. Dia benar, hanya dia
yang bisa menjamin dia akan terus menunggu. Tapi aku tak seberani itu untuk
mengambil resiko.
Dan jika terus memikirkan ini aku beresiko telat kekampus. Dan
nanti sampai dikampus, aku pun tak mampu menyapanya. Sydroma putri malu
menunduk ketika bertemu..